Senin, 17 November 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Dari Nusantara ke Yordania, Esensi tentang Diplomasi dan Keraguan 

Kedatangan Sang Raja pada 15 November 2025 ini akan dikenang sebagai sebuah momen ketika dua peradaban besar bertemu.

istimewa
KUNJUNGAN RAJA YORDANIA - Mahasiswa Doktor Hubungan Internasional dari University People’s Friendship Of Russia, Achmad Firdaus H. 

Oleh: Achmad Firdaus H. 
Mahasiswa Doktor Hubungan Internasional dari University People’s Friendship Of Russia 


TRIBUNNERS - JAKARTA tak sekadar menyambut tamu. Ibu kota negeri zamrud khatulistiwa ini sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pertemuan yang akan mengukir babak baru dalam lembaran sejarah diplomasi global.

Di balik mega-megapolitan yang senantiasa bergerak cepat, ada getaran khusus yang terasa ketika pesawat kerajaan dari Amman mendarat mulus di Bandara Halim Perdanakusuma.

Dari balik tangga pesawat, tampak sosok yang tak asing: Raja Abdullah II bin Al-Hussein dari Yordania, Sang Penjaga Tempat Suci, yang kedatangannya kali ini mengusung makna yang jauh lebih dalam dari sekadar kunjungan kenegaraan biasa. 

Namun, di balik kemegahan penyambutan ini, muncul pertanyaan mendasar: mengapa harus bertemu? Di tengah segudang masalah domestik yang mendesak, apa yang membuat pertemuan ini begitu penting bagi kedua negara? 

Di pelataran bandara, Presiden Prabowo Subianto telah menanti. Dalam sambutannya yang hangat, terpancar chemistry khusus antara dua pemimpin yang telah menjalin hubungan personal selama bertahun-tahun.

Namun, di balik senyum hangat dan jabat tangan erat itu, terselip pertanyaan besar: mampukah chemistry personal ini menjawab tantangan riil yang dihadapi kedua bangsa? 

Pertemuan di Istana Merdeka keesokan harinya menghadirkan atmosfer yang berbeda. 

Di balik pintu-pintu kayu berukir yang megah, kedua pemimpin tidak hanya membicarakan angka-angka dalam kerja sama ekonomi dan perdagangan. Namun, dalam ruang kerja yang megah itu, ada bayang-bayang pertanyaan kritis yang mengemuka. 

Mengapa harus bertemu? Bagi Indonesia yang sedang bergulat dengan ketimpangan 
ekonomi dan pembangunan infrastruktur, apakah kerja sama dengan Yordania negara dengan PDB yang lebih kecil benar-benar dapat memberikan dampak signifikan? Apakah pertemuan ini sekadar pencitraan diplomatik, atau ada substansi nyata yang bisa dirasakan rakyat kecil? 

Bagi Yordania, yang menghadapi krisis pengungsi Suriah dan tekanan ekonomi akibat konflik regional, apakah kerja sama dengan Indonesia yang secara geografis jauh dari kawasan Timur Tengah dapat menjadi solusi praktis? Ataukah ini sekadar upaya memperluas legitimasi internasional di tengah kompleksitas politik domestiknya? 

Percakapan mereka menyentuh hal-hal yang lebih substantif tentang tanggung jawab moral sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, tentang komitmen untuk menjadi penjaga moderasi Islam di tengah gempuran ekstremisme. Namun, di balik komitmen mulia ini, kedua negara sama-sama bergumul dengan isu yang sama: bagaimana mewujudkan moderasi Islam dalam kebijakan domestik yang konkret, bukan sekadar wacana di forum internasional.

Indonesia, dengan dinamika politik dalam negerinya yang kompleks, seringkali terjepit antara idealisme moderasi dan realitas politik identitas yang kerap mengemuka. 

Sementara Yordania, meski dipuji sebagai oasis stabilitas, masih harus berhadapan dengan tekanan antara modernisasi dan konservatisme dalam masyarakatnya. 

Malam itu, Istana Merdeka kembali menjadi saksi bisu sebuah peristiwa bersejarah. Dalam jamuan kenegaraan yang megah namun syahdu, kedua pemimpin saling bertukar pidato yang tidak hanya berisi komitmen politik.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved