RUU KUHAP
Aturan dalam RUU KUHAP: Pelaku Kejahatan dengan Disabilitas Mental Tak Dijatuhi Pidana
RUU KUHAP kini mengatur pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana
Ringkasan Berita:
- Komisi III DPR dan pemerintah menyepakati aturan baru dalam revisi KUHAP yang menyebut pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana.
- Usulan ini berasal dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan disetujui karena dinilai sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru.
- DPR menargetkan pembahasan RUU KUHAP selesai sebelum 1 Januari 2026.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kini mengatur pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dikenai tindakan rehabilitasi atau perawatan.
Ketentuan itu disepakati Komisi III DPR dan pemerintah.
Adapun usulan aturan tersebut dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas.
"Mereka mengusulkan adanya pengaturan tambahan untuk menjamin pemberian keterangan secara bebas tanpa hambatan,” ujar perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU KUHAP, David, dalam rapat panitia kerja Komisi III dan pemerintah di Gedung DPR RI, Rabu (12/11/2025).
Dalam Pasal 137A Ayat (1) berbunyi, “Terhadap pelaku tindak pidana yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan.” Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa tindakan tersebut ditetapkan dengan penetapan hakim dalam sidang terbuka untuk umum.
Ayat (3) menegaskan bahwa penetapan tindakan itu bukan merupakan putusan pemidanaan, sedangkan ayat (4) menyebutkan tata cara pelaksanaan tindakan tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan pemerintah sependapat dengan usulan tersebut.
Menurut dia, ketentuan itu sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
“Sehingga memang putusannya bukan pemidanaan, tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi. Koalisi disabilitas juga sudah menemui kami, dan kami setuju dengan usulan dari LBH Apik ini,” imbuh dia.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menilai, ketentuan itu sudah tepat karena penyandang disabilitas mental tidak mungkin memiliki niat jahat (mens rea) dalam tindak pidana.
"Kalau disabilitas mental ya iya, tidak ada mens rea. Benar, Prof Eddy (Wamenkum)?” tanya Habiburokhman yang kemudian dijawab benar oleh Eddy
“Kalau begitu, ketok ya,” kata Habiburokhman.
Komisi III DPR RI menargetkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) selesai sebelum 1 Januari 2026.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah akademisi, untuk menerima masukan terkait RKUHAP.
RUU KUHAP
| Ketua KPK Sampaikan Masukan Terkait RKUHAP saat Rapat dengan Komisi III DPR |
|---|
| Komisi III DPR Akan Undang KPK hingga BEM Bahas RUU KUHAP |
|---|
| RUU KUHAP Diharapkan Mampu Menjawab Persoalan Ego Sektoral Penegak Hukum |
|---|
| Ketua Komisi III DPR Habiburokhman Pesimistis RKUHAP Bisa Disahkan dalam Waktu Dekat, Kenapa? |
|---|
| Respons DPR Soal KPK Kritik Aturan Praperadilan di RKUHAP Hambat Penanganan Perkara Korupsi |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.