Senin, 17 November 2025
Tujuan Terkait

Tribunners / Citizen Journalism

Anomie di Ende: Penganiayaan dan Penikaman sebagai Cermin Ketimpangan Sosial

Dua kasus pembunuhan di Ende bongkar retaknya norma sosial, paradoks kota pelajar yang kehilangan arah

Editor: Glery Lazuardi
TribunStyle.com - Tribunnews.com
JASAD MANUSIA - Ende berduka: dua nyawa melayang, konflik sosial tersingkap di balik jargon kota pelajar 

Oktavianus Daluamang Payong, S.I.P., M.I.P

  • Asal : Flores Timur, NTT
  • Pekerjaan : Dosen di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula, Ende

Riwayat Pendidikan

  • S1 di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD l" Yogyakarta lulus tahun 2019
  • S2 di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD l" Yogyakarta lulus tahun 2022

Selama kurun waktu belakangan ini, Kabupaten Ende diwarnai oleh dua kasus pembunuhan yang mengungkap konflik tersembunyi di balik permukaan masyarakat.

Yang pertama Paulus Pende alias Adi (38), seorang penyandang disabilitas meninggal dunia akibat dianiaya oknum polisi, Bripda Oschar Poldemus Aintiran alias Oschar (23) di Ende Tengah, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (Tribunflores).

Berdasarkan informasi dari Tribunnews Flores, Ende, Bripda Oschar melakukan penganiayaan terhadap Adi di tiga tempat pada Rabu (29/10/2025) malam.

Saat itu Bripda Oschar dan korban Adi sama-sama hadir dalam acara baptis.  

Saat itu Bripda Oschar terpengaruh minuman keras jenis moke. Di tempat pertama ini menjadi pemicu perselisihan antara pelaku dan korban.

Di lokasi pertama, Bripda Oschar melakukan penganiayaan dengan cara memukul korban menggunakan kepalan tangan kanan sebanyak satu kali yang mengenai pipi kiri korban hingga korban terjatuh ke tanah.  

Pada saat korban sudah terjatuh di tanah, pelaku kembali memukul korban dengan menggunakan kepalan tangan kanan sebanyak satu kali yang mengenai pipi korban.

Ternyata penganiayaan tersebut belum berhenti, Bripda Oschar kembali menganiaya korban di lokasi kedua di Jalan Prof W Z Yohanes Kelurahan Rewarangga Selatan tepatnya di pinggir jalan depan rumah singgah ODGJ Samaria.

Saat itu, Bripda Oschar menganiaya korban dengan cara mengayunkan kepalan tangan kanan sebanyak satu kali yang mengenai pipi kiri korban.

Saat itu, korban Adi sedang duduk di atas sepeda motor. 

Akibat dipukul Bripda Oschar, korban terjatuh bersama sepeda motornya ke tanah.

Pada saat korban terjatuh, pelaku mengambil parang dari belakang badan korban menggunakan tangan kanan dan membuangnya ke arah belakang.

Setelah itu, pelaku kembali memukul korban menggunakan tangan kanan sebanyak satu kali yang mengenai rahang pipi kiri korban.  Pelaku hendak memukul korban untuk ketiga kalinya namun ditahan seorang pria yang diketahui bernama Kanis.

Korban kemudian bangun dan melarikan diri ke arah lorong samping pangkas rambut. Tak berhenti, penganiaya terjadi di lokasi ketiga di Jalan Prof W Z Yohanes tepatnya di lorong samping pangkas rambut.

Pelaku saat itu memukul wajah korban dengan menggunakan kepalan tangan kanan dan kiri secara berulang kali. Korban saat itu sudah posisi tersungkur di tanah hingga akhirnya seorang pria bernama Ferdinand Antonuis Rago datang dan menarik pelaku sehingga pelaku berhenti memukul korban.

Selanjutnya korban pun dibawa ke rumah sakit untuk menjalani perawatan. Korban akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit.

Kasus kedua, hanya berselang delapan hari satu lagi warga Ende ditikam hingga meregang nyawa. Peristiwa tragis ini terjadi pada Selasa (4/11/2025) sekitar pukul 23.39 WITA di Jalan Wirajaya, Kota Ende.

Berdasarkan berita pada laman Tribunnews (5/11/2025) dijelaskan bahwa seorang pemuda berusia 25 tahun bernama Fransiskus Ndae tewas ditikam oleh Arnoldus Valentino Woge alias AVW (19).

Kejadian berawal saat dua saksi, FT (20) dan KM (22), sedang makan di sebuah warung di depan Akper Ende. Usai makan, keduanya berboncengan menuju kos milik korban, Fransiskus Ndae (FN), 25 tahun, di Jalan Marilonga. Namun, setibanya di depan SD Onekore, keduanya dihadang oleh orang tak dikenal (OTK) dan dipukul. 

Kedua saksi sempat meminta maaf lalu melanjutkan perjalanan ke kos korban. Mereka kemudian menceritakan kejadian itu kepada korban FN.

Mendengar cerita tersebut, korban bersama kedua saksi berjalan kaki menuju lokasi kejadian untuk memastikan.  

Saat tiba di depan SD Onekore 1, mereka melihat sekelompok anak muda duduk di depan patung pelajar.  Karena merasa tidak aman, mereka memutar arah melewati SMAN 1 Ende menuju Jalan Wirajaya.

Di lokasi tepat di samping tembok SDK Ursula Ende, tiba-tiba dua pelaku datang dan mendorong korban hingga terjadi perkelahian.  

Salah satu pelaku kemudian mengeluarkan pisau, membuat kedua saksi melarikan diri ke arah Kompi C. Ketika kembali ke lokasi, saksi mendapati korban sudah bersandar di tembok TK Kartika dengan luka tusuk di bagian dada.  

Korban kemudian dibawa ke RSUD Ende menggunakan mobil patroli Kompi C, namun nyawanya tidak tertolong.

Kota Pelajar Bukan Hanya Jargon

Kedua insiden ini bukan sekadar kejahatan biasa—mereka adalah cermin kegagalan sosial yang lebih dalam.

Melalui lensa teori anomie Émile Durkheim, kita bisa melihat bagaimana norma-norma masyarakat yang dulu kokoh kini retak, meninggalkan individu tanpa arah, seperti kapal tanpa kemudi di lautan ganas.

Ende, sebagai kota pelajar yang terkenal dengan beberapa sekolah menengah pertama hingga menengah atas ternama serta memiliki beberapa  perguruan tinggi favorit, seharusnya menjadi pusat ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter generasi muda.

Namun, paradoks nya, kota ini juga menghadapi tantangan modernisasi yang cepat. Anak muda Ende bahkan oknum polisi yang bertugas di Ende menunjukan tindakan amoral yang bertentangan dengan jargon kota pelajar tersebut.

Dalam masyarakat yang stabil, kasus seperti ini seharusnya tidak terjadi. Konflik seperti kekerasan memang sering terjadi tetapi bisa diselesaikan dengan dialog bahkan dengan meredam emosi diri.

Tapi anomie membuat norma ini pudar, oknum polisi yang menganiaya penyandang disabilitas mungkin merasa terasing dari tanggung jawab etisnya.

Status sosialnya sebagai polisi membuatnya merasa lebih berkuasa sehingga dengan mudah menghadapi orang yang status social di bawahnya.

Begitu pula dengan penikaman yang menyebabkan anak muda meninggal—dalam lingkungan yang dulu harmonis, konflik mungkin diselesaikan dengan dialog; kini, tanpa norma yang jelas, pisau menjadi solusi cepat.

urkheim mengatakan anomie muncul saat masyarakat gagal memberikan tujuan dan sarana yang konsisten.

Kejadian ini bukan hanya sekedar penganiayaan dan penikaman, melainkan sebagai salah satu bentuk ketimpangan sosial, ketiadaan pekerjaan juga bisa menjadi penyebabnya.

Ketimpangan ini menciptakan frustasi kolektif, di mana norma kesetaraan dan meritokrasi hilang, sehingga anomie berkembang dan memicu kekerasan seperti yang kita lihat.

Jika kita abaikan ini, kasus seperti ini bisa berulang, seperti yang terjadi di daerah lain dengan tantangan serupa.

Bayangkan Ende sebagai tubuh sosial—ketika norma melemah, luka seperti ini mudah muncul dan sulit sembuh.

Ini bukan hanya masalah individu. Anomie adalah produk struktur sosial: pemerintah yang lambat dalam pembangunan infrastruktur, korupsi yang merusak kepercayaan publik, dan globalisasi yang membawa nilai konsumerisme tanpa filter budaya.

Solusi : Sebuah jalan Tengah dari Ketimpangan Sosial

Solusinya harus holistik, dengan hukuman yang setimpal untuk menegakkan keadilan, tapi juga unsur keadilan sosial agar tidak memperburuk ketimpangan.

Pertama, terapkan hukuman pidana yang proporsional—misalnya, penjara jangka panjang untuk pelaku kekerasan seperti penganiayaan atau penikaman, sesuai dengan Undang-Undang KUHP, tapi sertakan program rehabilitasi wajib yang fokus pada pendidikan etika dan keterampilan kerja, sehingga pelaku bisa kembali ke masyarakat tanpa stigma permanen.

Kedua, keadilan sosial dalam proses hukum: berikan pastikan akses hukum gratis untuk korban dari kelas bawah, seperti bantuan pengacara negara atau pembaruan dari dana sosial, agar mereka tidak tertinggal dalam sistem yang sering mendukung yang kuat.

Ketiga, reformasi struktural untuk mengurangi anomie—meningkatkan lapangan pekerjaan melalui investasi di sektor lokal seperti pertanian modern dan pariwisata, dengan kuota khusus untuk pemuda dari keluarga miskin, sehingga ketimpangan sosial berkurang dan norma pemerataan diperkuat.

Akhirnya, kasus ini adalah panggilan bagi kita semua. Anomie di Ende bukan takdir, melainkan hasil pilihan kita. Jika kita membiarkan norma sosial terus retak, kekerasan berikutnya mungkin lebih tragis. Mari kita bangun Ende yang harmonis, di mana solidaritas adat bertemu dengan kemajuan modern.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved