Tribunners / Citizen Journalism
Melihat Kode Etik Advokat sebagai Etika Tanggung Jawab
Penegakan kode etik advokat masih terjal, perlu kesadaran moral agar profesi jadi kompas tanggung jawab.
Maliki Sirojudin Agani, S.H.
Riwayat Pendidikan:
- Sedang menempuh Magister Hukum (Konsentrasi Litigasi) di Universitas Gadjah Mada (UGM).
- Sarjana Hukum (S.H.) dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Keahlian Khusus: Hukum perdata, agraria, lingkungan, litigasi, dan penyelesaian sengketa.
Latar Belakang/Pengalaman Relevan dengan HAM:
- Pernah Magang di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sebagai Tim Advokasi.
- Melakukan konsultasi hukum masyarakat terkait konflik agraria & lingkungan.
- Melakukan Advokasi isu HAM & hak agraria.
- Terlibat dalam lebih dari 5 sengketa agraria & lingkungan melalui LBH.
- Kepala Divisi Kajian & Riset di Lantern Law Community.
- Domisili: Yogyakarta, Indonesia
Kontak (Opsional): malikisirojdin@gmail.com
Bahwa kenyataannya, penegakan kode etik advokat di Indonesia masih menempuh jalan terjal mengingat masih terjadinya polemik di antara berbagai organisasi advokat. Meski Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengamanatkan prinsip single bar sebagaimana termaktub dalam Pasal 32, dalam praktik justru muncul banyak organisasi advokat dengan standar kode etiknya masing-masing. Akibatnya, ketika seorang advokat diputus melanggar kode etik oleh suatu organisasi, ia dengan mudah dapat berpindah ke organisasi lain. Hal ini tampak, misalnya, pada kasus advokat berinisial FO yang setelah dipecat oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) kemudian beralih ke Peradi WPI (Kompas, 2025).
Meski demikian, ada angin segar bertiup melalui wacana pembentukan Dewan Kehormatan Advokat Bersama. Namun harus disadari, problem pelanggaran kode etik tidak bisa diselesaikan secara instan. Negara-negara dengan standar dan mekanisme penegakan kode etik yang ketat sekalipun—katakanlah Amerika—tetap tidak dapat menghilangkan pelanggaran secara sepenuhnya.
Sebagaimana dipahami, kode etik pada umumnya bersifat internal suatu institusi karena memang bertujuan mendorong perbaikan melalui mekanisme evaluasi diri. Konsep dalam sistem hukum internasional seperti Proactive Management-Based Regulation (PMBR) menegaskan bahwa pendekatan regulasi etika seharusnya mencegah pelanggaran sejak awal, bukan sekadar menanganinya setelah terjadi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama kode etik adalah mencegah seseorang bertindak di luar koridor etika profesinya.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat kode etik advokat sebagai suatu etika tanggung jawab, bukan semata seperangkat aturan teknis. Etika profesi seharusnya dipahami sebagai upaya mencegah pelanggaran melalui kesadaran mendalam akan tanggung jawab moral advokat terhadap orang lain.
Menurut Emmanuel Levinas (Haché & Dubost, 2006), etika berawal dari sesuatu yang sangat sederhana: perjumpaan dengan orang lain. Ketika kita melihat seseorang yang sedih, terluka, bingung, atau membutuhkan pertolongan, muncullah perasaan spontan “aku harus bantu.” Rasa tanggung jawab spontan itulah—yang muncul karena melihat kerentanan orang lain—yang menjadi fondasi etika menurut Levinas. Dengan kata lain, etika bukan sekadar aturan, hukum, atau teori; etika adalah respons manusiawi terhadap keberadaan orang lain yang memanggil kita untuk peduli.
Sebagai bentuk internalisasi prinsip etika tanggung jawab, setiap advokat harus memiliki kesadaran bahwa jabatan yang diembannya selalu terkait dengan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Penguatan lembaga seperti Dewan Kehormatan Bersama memang langkah maju, tetapi lembaga sekuat apa pun tetap memiliki batas apabila advokat tidak melihat kode etik sebagai panggilan moral, melainkan hanya sebagai dokumen normatif. Artinya, perubahan paling penting justru harus dimulai dari kesadaran individual advokat. Ketika seorang advokat
menyadari bahwa setiap keputusan, ucapan, atau strategi hukumnya berdampak langsung pada kehidupan orang lain—yang sering kali berada dalam posisi rentan—maka ia akan bekerja bukan semata untuk mematuhi aturan, tetapi untuk mencegah pelanggaran dan ketidakadilan. Etika Levinas mendorong advokat untuk senantiasa bertanya: “Apakah tindakanku melindungi Orang Lain atau justru merugikannya?”
Jika kesadaran ini tumbuh, maka kode etik tidak lagi dipahami sebagai alat menindak, melainkan sebagai kompas moral. Ketaatan terhadap kode etik tidak lagi lahir dari rasa takut terhadap sanksi, melainkan dari kesadaran bahwa advokat memegang amanah besar: amanah atas kepercayaan, nasib, martabat, dan kerentanan orang lain.
Dalam konteks ini, penting mengingat pesan Prof. Satjipto Rahardjo yang menegaskan bahwa “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”
Kutipan ini amat sangat relevan untuk mengingat kembali tujuan sejatinya hukum dan sesungguhnya etika advokat harus berpijak pada kemanusiaan, bukan semata pada pasal-pasal. Sementara itu, Adnan Buyung Nasution pernah menegaskan, “Menjadi advokat berarti siap memikul tanggung jawab moral untuk membela mereka yang lemah.” meski terdengar muluk-muluk “Pada akhirnya, kualitas penegakan hukum akan jatuh pada kualitas moral advokatnya.”
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
| MK Gelar Sidang Perdana Firdaus Oiwobo yang Sumpah Advokatnya Dicabut Karena Ricuh di PN Jakut |
|
|---|
| Peringati Hari Pahlawan, 88 Advokat Ikuti Billiard Tournamet 2025, Diharapkan Lahir Atlet Potensial |
|
|---|
| PERADI SAI Nilai RUU KUHAP Pertegas Perlindungan bagi Advokat |
|
|---|
| Peradi Pergerakan Luruskan Informasi Soal Organisasi Advokat yang Diakui Pemerintah |
|
|---|
| Jas Mahal, Cincin Berkilau, Sepatu Harga Ratusan Juta, Hotman Paris Ungkap Alasan Bergaya Mewah |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.