Sabtu, 6 September 2025

Revisi KUHAP

RUU KUHAP Dinilai Masih Menyimpan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa

RUU KUHAP menjadi sorotan publik karena proses pembahasannya dinilai terlalu cepat, minim partisipasi publik

Istimewa
RUU KUHAP - Pakar Hukum Tata Negara, Rahmatullah Rorano S. Abubakar, di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (2/6/2025). Rorano S. Abubakar mengemukakan pandangannya mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Hukum Tata Negara Dr Abd. R . Rorano S. Abubakar mengemukakan pandangannya mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Rorano yang meraih gelar Doktor dari Universitas Jayabaya Jakarta itu menilai, RUU ini masih menyimpan potensi tumpang tindih kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Baca juga: KontraS Soroti Revisi KUHAP: Dorong Atur Mekanisme Pengujian Penyadapan hingga Penahanan 

Menurutnya, jika tidak diatasi dapat mengganggu efektivitas sistem peradilan pidana di Indonesia.

"Hemat saya, ada beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang belum secara tegas memisahkan kewenangan antara penyidikan oleh Kepolisian dan penuntutan oleh Kejaksaan," ujar Pengajar di Universitas Kader Bangsa Palembang ini, Minggu (20/7/2025).

"Potensi tumpang tindih ini bukan hanya akan menciptakan kebingungan prosedural, tetapi juga bisa menghambat proses hukum secara keseluruhan dan merugikan pencari keadilan."

Rorano menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan yang ideal, sudah semestinya ada pembagian tugas yang jelas antara penyelidikan dan penyidikan (umumnya di tangan Kepolisian) dengan penuntutan (di tangan Kejaksaan).

Namun, beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP, menurutnya, berpotensi mengaburkan batas ini.

Berikut ini poin krusial yang disoroti oleh Rorano terkait potensi tumpang tindih Polri dan Kejagung:

1. Pertama, Penyidikan Bersama atau Koordinasi yang Belum diatur secara Jelas dalam RUU KUHAP sebab, mekanisme pelaksanaannya bisa jadi belum cukup rinci atau malah membuka celah interpretasi yang berbeda antara kedua institusi. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan kewenangan di lapangan.

2. Berkaitan dengan kewenangan Jaksa dalam Tahap Penyidikan. Meskipun Kejaksaan memiliki fungsi pengawasan pra-penuntutan, pemberian kewenangan yang terlalu luas kepada jaksa dalam tahap penyidikan tanpa batasan yang jelas dapat mengganggu independensi penyidik Kepolisian.

3. Penyelesaian Perkara yang potensial tidak Efisien. Ketidakjelasan batas kewenangan bisa menyebabkan bolak-balik berkas perkara (P19) antara penyidik dan penuntut, yang pada akhirnya memperlambat penyelesaian kasus dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi tersangka dan korban.

4. Akuntabilitas yang Kabur: Jika terjadi tumpang tindih, akuntabilitas atas suatu kesalahan prosedur atau keterlambatan proses bisa menjadi tidak jelas, sehingga sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab.

Baca juga: Hinca Panjaitan Tantang KPK Datang ke DPR Bahas Revisi KUHAP: Jangan Debat yang tak Ada Substansinya

"Penting sekali untuk memastikan bahwa setiap institusi memiliki mandat yang jelas dan tidak saling intervensi dalam lingkup tugas masing-masing, kecuali dalam kerangka koordinasi yang sudah diatur secara rigid dan transparan," ujarnya.

Kata Rorano, “RUU KUHAP harus mampu menciptakan harmonisasi, bukan malah disharmoni, dalam penegakan hukum."

Rorano menyarankan agar pembahasan RUU KUHAP ini memberikan perhatian lebih pada perumusan pasal-pasal yang mengatur hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan