Senin, 10 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Polemik Gelar Pahlawan Nasional Soeharto, Ini 10 Dosa Besar Presiden ke-2 RI Menurut KontraS

KontraS mencatat 10 dosa besar pelanggaran HAM oleh Soeharto selama memimpin masa Orde Baru.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
AKSI KAMISAN - Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti Aksi Kamisan ke-885 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (6/11/2025). Pada Senin (10/11/2025), Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional, termasuk untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto. KontraS mencatat 10 dosa besar pelanggaran HAM oleh Soeharto selama memimpin masa Orde Baru. 

Dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981, Soeharto secara gamblang mengatakan pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama, seperti saat memperlakukan korbannya.

Operasi petrus itu juga disebut Soeharto sebagai shocktherapy, seperti pengakuannya dalam otobiografinya berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (halaman 389) yang ditulis Ramadhan KH pada 1989.

Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung.

3. Tanjung Priok tahun 1984-1987 (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM: 2003)

Melalui Keputusan Presiden Nomor 179/KOTI/65, secara resmi berdiri Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB).

Dalam peristiwa Tanjung Priok, Soeharto dianggap menggunakan KOPKAMTIB sebagai instrumen penting untuk mendukung dan melindungi kebijakan politiknya.

Sebagai panglima tertinggi, ia juga mengeluarkan sikap, pernyataan, dan kebijakan yang bersifat represif untuk mengeliminasi respons masyarakat atas kebijakan asas tunggal Pancasila yang dikeluarkan Orde Baru.

Soeharto sebagai presiden dan penanggung jawab seluruh kegiatan KOPKAMTIB disebut mewajibkan ABRI mengambil tindakan represif untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam yang dianggap sebagai golongan ekstrem yang harus dicegah dan ditumpas seperti penanganan G 30 S.

Akibat dari kebijakannya, lebih dari 24 orang dilaporkan meninggal, 36 terluka berat, dan 19 luka ringan, dalam peristiwa tersebut.

4. Talangsari tahun 1984-1987 (Laporan Ringkasan Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989, Komnas HAM: 2008)

KontraS juga mencatat, akibat kebijakan represif Soeharto saat menjabat sebagai Presiden, mengakibatkn meletusnya peristiwa Talangsari.

Dalam peristiwa itu, 130 orang tewas, 77 orang diusir paksa, 53 orang terampas kemerdekaannya, 45 orang disiksa, dan 229 orang mengalami penganiayaan.

5. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh tahun 1989-1998 (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM: 2003)

Operasi ini merupakan kebijakan yang diputuskan secara internal oleh ABRI setelah mendapat persetujuan dari Soeharto selaku presiden dan panglima tertinggi.

Berdasarkan hasil investigasi Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), selama 10 tahun operasi berlangsung, telah menyebabkan 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan, dan 102 perempuan dirudapaksa.

6. DOM Papua tahun 1963-2003 (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM: 2003)

Operasi militer di Papua ini dimaksudkan untuk memberantas Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Kebijakan ini mengakibatkan sejumlah peristiwa meletus, seperti:

  • Terminabun (1966-1967), sekitar 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang.
  • Kebar (1965), 23 orang terbunuh.
  • Manokwari (1965), 64 orang dieksekusi mati.
  • Sentani, 20 orang menjadi korban penghilangan paksa.
  • Enatorali (1969-1970), 634 orang terbunuh.
  • Jayawijaya dan Wamena Barat lewat Operasi Tumpas (1970-1985), terjadi pembantaian di 17 desa.

7. Peristiwa 27 Juli 1996

Dalam peristiwa ini, Soeharto memandang Megawati Soekarnoputri sebagai ancaman terhadap Orde Baru.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved