Sabtu, 22 November 2025

RUU KUHAP

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Prabowo Terbitkan Perppu KUHAP, Soroti Proses Kilat dan Pasal Karet

Desakan ini bertujuan untuk membatalkan atau menunda keberlakuan KUHAP baru yang baru saja disahkan DPR RI secara terburu-buru.

Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
KOALISI MASYARAKAT SIPIL - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menggelar jumpa pers terkait desakan untuk Presiden Prabowo Subianto segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu (22/11/2025). 

Ia menggarisbawahi Pasal 5 huruf e, Pasal 7 huruf o, dan Pasal 16 huruf k yang memberikan wewenang kepada penyelidik untuk melakukan "tindakan lain" menurut hukum.

"Pertanyaan mendasarnya, tindakan atau kegiatan lain yang dimaksud itu apa? Penjelasannya hanya tertulis 'cukup jelas'. Ini membuka ruang penyalahgunaan wewenang," kata Fadhil.

Fadhil mengkhawatirkan frasa ambigu tersebut dapat melegitimasi tindakan koruptif atau represif, seperti kasus pemerasan berkedok razia atau pelanggaran privasi dalam tayangan reality show kepolisian.

Selain itu, Fadhil mengkritik hilangnya mekanisme judicial scrutiny (uji pengadilan) dalam proses penangkapan dan penahanan di KUHAP 2025. 

"Di KUHAP baru, penangkapan dan penahanan tidak ada mekanisme kontrol dan akuntabilitasnya. Seharusnya ada pihak lain selain penyidik, yakni pengadilan, untuk menguji apakah penahanan itu diperlukan," jelasnya.

Pasal karet adalah istilah untuk pasal dalam undang-undang yang dianggap memiliki tafsir terlalu luas, tidak jelas, dan bisa ditarik ke mana saja sehingga rawan disalahgunakan.

Istilah ini muncul karena pasal tersebut “lentur” seperti karet, bisa ditafsirkan sesuai kepentingan pihak tertentu.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Desak Prabowo Tunda Pelaksanaan UU KUHAP

Pola Berulang Pengabaian Partisipasi Publik

Senada dengan YLBHI dan LBH Jakarta, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, menilai pengesahan KUHAP ini mengulangi pola buruk legislasi sebelumnya, seperti UU KPK dan Omnibus Law, di mana partisipasi publik yang bermakna diabaikan.

"Partisipasi bermakna itu bukan sekadar diundang atau disuruh nonton live streaming. Yang diinginkan adalah ruang diskusi, di mana concern masyarakat sipil dijawab, bukan monolog," ujar Nurina.

Amnesty International juga mengkhawatirkan Pasal 100 dan Pasal 93 terkait penangkapan dan penahanan yang berpotensi digunakan untuk membungkam kritik. 

"Kami punya kekhawatiran sangat besar ini akan menyasar para pembela HAM yang banyak mengkritik kebijakan negara. Orang bisa ditangkap hanya dengan tuduhan menghasut tanpa bukti kuat," sebut Nurina.

Sebagai informasi, DPR RI di bawah pimpinan Ketua Puan Maharani telah mengetuk palu pengesahan RUU KUHAP pada Selasa (18/11/2025), menggantikan undang-undang lama yang telah berusia 44 tahun. 

Namun, gelombang penolakan dari koalisi masyarakat sipil terus menguat menuntut pembatalan aturan tersebut.

 

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved