Jumat, 21 November 2025

Kejagung: Pelaksanaan Sita Eksekusi Tidak Perlu Penetapan Pengadilan Tambahan

Katarina Endang Sarwestri mengatakan, pelaksanaan sita eksekusi tidak memerlukan penetapan pengadilan tambahan.

Tangkapanlayar/YouTube MKRI
MAHKAMAH KONSTITUSI - Sidang pengujian UU Tipikor dan UU Kejaksaan di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Selasa (18/11/2025. Pemerintah diwakili Staf Ahli Bidang Pertimbangan dan Pengembangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) RI Katarina Endang Sarwestri mengatakan, pelaksanaan sita eksekusi tidak memerlukan penetapan pengadilan tambahan. 

Ia menambahkan, Pasal 18 UU Tipikor memberi kewenangan kepada Jaksa untuk menyita dan melelang harta terpidana apabila uang pengganti tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

“Pelaksanaan sita eksekusi tidak terbatas pada harta yang terkait langsung dengan tindak pidana, tetapi dapat mencakup seluruh harta terpidana sebagai kewajiban pemenuhan pidana,” jelas Katarina.

Menurutnya, merujuk Perma Nomor 5 Tahun 2014 yang mempertegas kewajiban eksekusi setelah waktu satu bulan terlampaui, serta Pedoman Jaksa Agung Nomor 6 Tahun 2023 yang menegaskan bahwa pelaksanaan sita eksekusi tidak memerlukan penetapan pengadilan tambahan. Pedoman tersebut, menurut Pemerintah, sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

"Permohonan demikian juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan pembentuk undang-undang serta melemahkan prinsip finalitas putusan pengadilan," ucapnya.

Baca juga: KPK Sita Dokumen Pergeseran Anggaran di Dinas PUPR Riau

Terkait keberatan pihak ketiga dalam hal sita eksekusi, ia menjelaskan, sistem hukum telah menyediakan ruang korektif. Apabila terdapat keberatan atas tindakan eksekusi, tersedia mekanisme seperti derden verzet, gugatan perbuatan melawan hukum, dan mekanisme pengawasan peradilan.

“Karena itu, keberatan tersebut tidak relevan diajukan melalui uji konstitusionalitas norma,” kata Katarina.

Katarina menyebut, Pemerintah menilai para pemohon keliru memahami frasa “aset lainnya” dalam Pasal 30A UU Kejaksaan. “Frasa tersebut terkait mekanisme pemulihan aset secara terpadu, bukan pemberian kewenangan tanpa batas kepada jaksa,” pungkasnya.

Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan di MK, Kamis (9/10/2025) kuasa hukum para Pemohon, Genesius Anugerah mengatakan, pengaturan mengenai pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi tidak memberikan kepastian hukum karena penerapannya berbeda-beda dalam putusan pengadilan.

Sebagai contoh, dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya dengan terdakwa Benny Tjokrosaputro, hakim menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp6,07 triliun tanpa memperhitungkan barang bukti yang telah disita. 

Sementara dalam perkara PT ASABRI (Persero) dengan terdakwa Teddy Tjokrosaputro, hakim memperhitungkan nilai barang bukti yang disita sebesar Rp20,83 miliar sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti.

Perbedaan tersebut, menurut para Pemohon, menunjukkan adanya disparitas penerapan hukum yang menimbulkan ketidakpastian bagi para pihak yang terlibat dalam perkara korupsi.

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved