Jumat, 7 November 2025

5 Fakta tentang Akiya Jepang: Rumah Kosong Harga Murah hingga Gratis yang Ditawarkan Pemerintah

Akiya adalah rumah kosong di Jepang yang ditinggalkan selama lebih dari enam bulan tanpa penghuni. Jumlahnya terus meningkat.

Tangkap layar YouTube BBC World Service
AKIYA JEPANG - Tangkap layar YouTube BBC World Service, memperlihatkan contoh rumah yang terbengkalai di Jepang, yang biasa disebut akiya. Pemerintah Jepang menawarkan akiya dengan harga murah bahkan gratis untuk menarik penduduk baru. 

Manfaatkan dukungan lokal

Hubungi kantor pariwisata dan perencanaan untuk panduan, hibah, atau pinjaman.

Pertahankan keaslian budaya

Lestarikan elemen tradisional seperti tatami, shoji, atau onsen, serta tawarkan aktivitas budaya seperti kuliner lokal atau tur pertanian untuk membedakan diri dari hotel konvensional.

Kisah Warga Australia yang Membeli Akiya di Jepang

Pasangan suami istri asal Brisbane, Australia, Deborah dan Jason Brawn memiliki impian untuk memiliki rumah di Jepang.

Pasangan ini telah lama jatuh cinta pada budaya dan gaya hidup Jepang setelah beberapa kali berkunjung ke Negeri Sakura selama bertahun-tahun.

Pada tahun 2023, mereka akhirnya memutuskan untuk mewujudkan impian itu.

Dengan keempat anak yang telah dewasa, Deborah dan Jason merasa kini adalah waktu yang tepat untuk mengejar mimpi lama mereka.

“Kami tahu Jepang punya masalah dengan akiya, dan karena kami sangat menyukai gaya hidup, orang-orang, budaya, serta rumah-rumah tradisional Jepang, kami berpikir, kenapa tidak?” kata Jason (51), dikutip dari artikel Business Insider pada Desember 2024.

Kisah cinta mereka dengan Jepang berawal dari Deborah, yang belajar bahasa Jepang di universitas pada tahun 1990-an.

Setelah lulus, ia pindah ke Tokyo selama lima tahun dan bekerja sebagai guru bahasa Inggris.

Selama tiga dekade, ia juga menekuni karate dan terus menjaga kedekatannya dengan budaya Jepang.

Kecintaannya itu kemudian menular pada Jason.

Selama pandemi, pasangan ini mulai mengenal istilah akiya.

Mereka mengetahui bahwa pemerintah Jepang memberikan berbagai insentif, seperti subsidi renovasi hingga properti gratis, untuk menarik penduduk baru ke daerah-daerah yang nyaris kosong.

“Saya sudah lama melihat-lihat properti sitaan, bahkan sebelum istilah ‘akiya’ populer,” kata Deborah (52). “Tapi waktu itu anak-anak masih kecil.”

Kini, dengan anak bungsu yang berusia 18 tahun, pasangan ini merasa saatnya tepat untuk memulai babak baru menjelang masa pensiun.

“Kami ingin punya proyek hidup sendiri. Seperti filosofi ikigai, kami ingin bangun setiap pagi dan berkata: inilah gairah hidup kami sekarang,” ujar Deborah, yang bekerja sebagai analis bisnis.

Karena perbatasan Jepang masih ditutup saat itu, Deborah dan Jason melakukan riset di internet, bergabung dengan grup Facebook pemburu akiya, dan berdiskusi dengan komunitas pembeli internasional.

Mereka menginginkan rumah di pedesaan, dekat alam, dan bergaya tradisional Jepang.

Setelah perbatasan setelah pandemi Covid-19 dibuka pada akhir 2022, mereka terbang ke Jepang untuk survei lapangan. Pada April 2023, mereka kembali untuk perjalanan enam minggu guna meninjau beberapa rumah dalam daftar mereka.

Di kota kecil Mitocho,  sekitar dua jam dari Hiroshima, mereka menemukan rumah impian: sebuah akiya tradisional dari era Meiji (1868).

“Begitu kami melihatnya, kami langsung tahu itu rumah yang tepat. Kami tidak mencari lagi setelah itu,” kenang Deborah.

Rumah tersebut telah kosong selama 12 tahun. Sebelumnya, bangunan itu pernah digunakan sebagai tempat pembuatan sake hingga awal 1900-an.

Saat membersihkan, pasangan itu bahkan menemukan papan nama pabrik sake dan beberapa peralatan lamanya.

Untuk membeli rumah tersebut, mereka harus mendaftar melalui bank akiya setempat — basis data resmi milik pemerintah daerah yang mencatat rumah-rumah kosong.

“Prosesnya sangat serius, semua formulir dalam bahasa Jepang,” kata Deborah. “Kami harus menuliskan semua detail pribadi dan menjelaskan apa rencana kami terhadap rumah itu.”

Proyek Pensiun yang Menantang

Pada Agustus 2023, pasangan itu resmi membeli akiya berukuran 7LDK (tujuh kamar tidur, ruang tamu, dan ruang keluarga) seharga 3,5 juta yen Jepang (sekitar Rp 350 juta).

Desa tempat mereka tinggal berpenduduk sekitar 300 orang, dengan toko 7-Eleven di seberang sawah dari rumah mereka.

Sejak itu, mereka telah merapikan taman, menambah jalan kerikil, memperbarui dapur, dan mengganti toilet lama dengan kamar mandi modern.

“Tujuannya adalah mengembalikan rumah ini ke kejayaannya dulu, tapi dengan satu atau dua sentuhan modern,” ujar Jason, seorang inspektur keselamatan kerja di bidang konstruksi.

Namun, merenovasi rumah berusia lebih dari 150 tahun bukanlah perkara mudah.

“Kami punya monyet, kelabang, beruang, dan tawon pembunuh. Saya bahkan pernah dikejar tawon di dalam rumah,” kata Deborah sambil tertawa.

Selain satwa liar, kendala bahasa juga menjadi tantangan tersendiri.

Pasangan ini kini membagi waktu antara Brisbane dan Jepang, dan berencana untuk sepenuhnya pindah dalam lima hingga delapan tahun ke depan. Mereka juga mendokumentasikan proses renovasi di kanal YouTube pribadi.

Menyatu dengan Komunitas Lokal

Baca juga: 10 Tempat Terlarang di Dunia, Tidak Bisa Didatangi Turis

Saat mereka kembali ke Australia, mereka memasang kamera pengawas di rumahnya di Jepang. Agen real estat yang membantu pembelian kini memeriksa rumah itu setiap minggu atas nama mereka.

Pasangan ini telah bergabung dengan asosiasi lingkungan dan aktif dalam kegiatan masyarakat. Pada September lalu, mereka bahkan ikut membersihkan sungai bersama warga desa.

Keterlibatan sosial, kata mereka, merupakan kunci sukses proyek akiya.

“Kami punya jaringan dukungan yang baik, tapi itu tidak datang begitu saja. Kami harus berusaha keras,” ujarnya.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved